Ilmu
al-jarh wa al-Ta’dil
By
: Alimuddin
A. Pengertian
Secara bahasa, al-jarh merupakan
masdar dari kata jaraha – yajrahu yang berarti akibat atau bekas luka
pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan
fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik
misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila
kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada
masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan
saksi.
Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh
berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi
yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang
disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan
keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya
atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut.Sebagian ulama menyamakan
penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama
lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi
tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri
seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari
dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun kata
ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan
sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil
berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat,
sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan
riwayatnya dapat diterima.
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani
mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari
tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan
sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil)
terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu,
juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu jarh wa
ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk meneliti kualitas hadis bisa
diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun yang menjadi
objek penelitian suatu hadis selalu mengarah pada dua hal penting, yang pertama
berkaitan dengan sanad/rawi (rangkaian yang menyampaikan) hadis, dan
kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadis. Dengan demikian
keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa
dipisahkan.
B.
Kegunaan Ilmu Jarh wa Ta’dil
Kegunaan mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan
apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama
sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka
periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagai orang yang
adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadits dipenuhi.
- Macam-macam kecacatan Rawi
Cacat
(keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela,
diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya
tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang
difasikan
2.
Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang
lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur
meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat
ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan
tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian
disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya
lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar" .
3.
Ghalath (banyak kekeliruan dalam
periwayatannya)
Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag
banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan
dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap
hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi
juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya
tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka
haditsnya di tawaqufkan.
4.
Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya)
Jahalatul
hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas
identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan
baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan
orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang
mengingkarinya
.
5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)
5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)
Misalnya
menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
-
Metode mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Keadilan seorang rawi daat diketahui dengan salah
satu dari dua ketetapan berikut :
a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
b.Pujian
dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal
sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.
C. Sejarah Ilmu Jarh wa ta’dil
Berbicara
sejarah, ada beberapa faktor yang melatar-belakangi pentingnya dilakukan Jarh
wa ta’dil. Di antaranya sebagai berikut :
a)
Hadis
Sebagai Sumber Ajaran Islam.
Ada
fenomena menarik bahwa para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat sampai
generasi mukharrij al-hadis sudah tidak dapat dijumpai lagi secara
fisik karena mereka telah wafat. Sementara para sahabat adalah para saksi
sejarah yang bisa menyaksikan serta mewartakan apa yang telah mereka rekam
selama bergaul dan bersahabat dengan Nabi. Kondisi tersebut menyebabkan rasa
ingin tahu untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun
kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari
berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (para
periwayat) hadis. Kritik tersebut dilakukan mengingat kedudukan hadis Nabi
sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Cukup banyak ayat al-Quran yang
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti
petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad, utusan Allah SWT.
Fenomena lain yang dapat ditemukan terkait dengan
kepentingan meneliti hadis adalah tidak seluruh hadis tertulis pada masa Nabi.
Pada suatu saat, Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis. Dalam pada
itu, pun Nabi juga pernah menyuruh atau mengizinkan sahabat menulis hadis. Kebijaksanaan
Nabi tersebut menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama,
bahkan di kalangan sahabat tentang boleh tidaknya menulis hadis. Dalam sejarah,
pada masa Nabi telah terjadi penulisan hadis, misalnya berupa surat-surat Nabi
tantang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang
belum memeluk Islam.
b) Munculnya
Berbagai Pemalsuan Hadis
Belum
ada data sejarah yang dapat dipertanggung-jawabkan bahwa pada masa Nabi telah
terjadi pemalsuan hadis. Kegiatan pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang
pada masa khalifah Ali Bin Abi Talib memerintah 35-40 H / 656-661 M. , demikian
pendapat ulama hadis pada umumnya.
Pada mulanya, faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan hadis
adalah kepentingan politik. Pada masa itu, telah terjadi pertentangan politik
antara Ali Bin Abi Talib dan Mu’awiyyah Bin Abi Sufyan. Para pendukung
masing-masing tokoh telah melakukan berbagai upaya untuk memenangkan perjuangan
mereka salah satu upaya yang telah dilakukan oleh sebagaimana dari mereka ialah
pembuatan hadis-hadis palsu
D.
Ulama-ulama termashur di bidang al-jarh wa al-ta’dil
Penyusun ilmu Jarh dan Ta’dil pada abad kedua adalah Al-Sya’bi (104 H),
Ibnu Sirrin (110 H), Syu’bah (160 H), dan Imam Malik (179 H). Di antara ulama yang
secara khusus membicaraka dan mempelajari ilmu Jarh dan Ta’dil adalah: Muammar
(153 H), Hisyam Al-Dustuwi (154 H), Al-Auza’i (156 H), al-Tawri (w. 161 H),
Muhammad Ibnu Salamah (w. 167 H), dan Laits Ibnu Sa’id (w. 175 H). Setelah itu
muncul generasi berikutnya seperti Ibnu Al-Mubarah (181 H), Al-Fazari (w. 185
H). Ibnu Uyayah (w. 197 H), Waqi Ibnu Al-Jarah (w. 197 H), dan setelah itu
muncul dua tokoh yang menjadi standar dalam penilaian hadits yaitu Yahya Ibnu
Said Al-qhatan (189 H) dan abdurrahman Ibnu Mahdi (198 H). Dua nama terkahir
itu adalah tokoh menjadi acuan dalam penilaian terhadap perawi hadits, apa yang
dikatakan kedua tokoh ini dapat diterima oleh tokoh-tokoh Jarh dan Ta’dil
lainnya.
Penerus ulama ilmu kritik hadits di abad ketiga adalah sebagai
berikut: Yazid bin Harun (206 H), Abu Dawud Al-Tayali (204 H), Abdul Raziq Ibnu
Hammam (211 H) dan Abu Hasyim Al-Nabi Ibnu Mukhlad (212 H). Setela itu muncul
generasi berikutnya yang mengsistematiskan penyusunan Jarh dan Ta’dil seperti:
Yahya Ibnu Mu’in (w. 233 H), Ahmad Ibnu Hambal (w. 241 H), Muhammad Ibnu Sa’ad
(230 H), Ali Ibnu Al-Maini (234 H), dab kemudian disusul oleh Bukhari dan
Muslim.
E.
Sebab terjadinya perbedaan pendapat Ulama ahli kritik Rijalul Hadits dalam
menilai periwayat haidits
Kritik
terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik
hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga
berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela dikemukakan
bukanlah untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan
dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis
yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa
mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan
yang lebih besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai
salah satu sumber ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi
periwayat dalam kaitannya periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan
atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan
kepentingan penelitian periwayatan hadis.
Metode yang
dipakai ulama dalam melakukan jarh dan ta’dil sangat beragam.
Adakalanya para ulama sependapat dalam menilai pribadi periwayat hadis tertentu
dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu, adakalanya seorang kritikus juga
mempunyai penilaian yang berbeda terhadap diri seseorang, misalnya pada suatu saat
dia menilai dengan ungkapan laisa bihi ba’s, tapi di lain kesempatan
dia menilai da’if terhadap periwayat yang sama. Padahal kedua ungkapan itu
memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda. Sehingga dengan adanya metode
yang telah ditetapkan para ulama, diharapkan dapat dihasilkan penilaian yang
lebih obyektif.
C. Kitab-kitab ilmu Jarh wa Ta’dil
Sebelum
seseorang melakukan penelitian hadis, terlebih dahulu dia harus mengetahui dan
memahami dengan baik berbagai istilah, kaidah, dan pembagian cabang ilmu hadis.
Kita-kitab yang diperlukan untuk kepentingan itu cukup banyak. Sebagaimana
diketahui bahwa arah kegiatan penelitian sanad hadis tertuju pada
pribadi para periwayat hadis dan metode periwayatan hadis yang mereka gunakan.
Dengan demikian, kitab-kitab tentang rijal- al-hadis, yakni
kitab-kitab yang membahas biografi, kualitas pribadi, dll. , berkenaan dengan
para periwayat hadis, sangat diperlukan. Jumlah kitab rijal al-hadis cukup
banyak dan sebagian di antaranya saling melengkapi informasi yang diperlukan
untuk kegiatan penelitian.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Mahmud Tahhan, dan secara umum dikemukakan oleh sejumlah
ulama hadis, misalnya Muhammad bin Ja;far al-Kattani, Muhammad ’Abdur-Rahman
bin ’Abdir- Rahim al-Mabar Kafuri, dan Kamal Yusuf al-Hut,bahwa srbagian kitab
rijal ada yang membahas menurut generasi mereka, dan lain-lain. Berikut ini
dikemukakan kitab-kitab rijal tersebut dengan beserta metode penyusunannya.
Kitab-kitab
dan Metode Penyusunannya
Kitab-kitab
yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:
- Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).
- Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir (W. 630 H/1232 M).
- Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652 H/1449 M).
Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat
hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah),
yaitu:
- al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H)
- Tazkirah al-Huffaz karya Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (W. 748 H/1348 M).
Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis
secara umum.
- Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).
- Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H).
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk
kitab-kitab tertentu.
- Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari.
- Rijal Sahih Muslim, karya Ahmad ‘Ali al-Asfahani (W. 428 H). kitab ini membahas khusus para periwayat dalam Sahih Muslim.
- Al-Jam’u Baina al-Sahihain, karya Ibnu al-Qaisarani bin Tahir al-Maqdisi (W. 507 H). Kitab ini membahas para periwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim.
- Al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’, karya Muhammad bin Yahya al-Tamimi (W. 416 H). Kitab ini membahas khusus periwayat dalam al-Muwatta’ Imam Malik.
- Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abdul Gani al-Maqdisi (W. 600 H). Kitab ini membahas para periwayat hadis dalam kutub al-sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan perintis kitab rijal yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
Kitab-kitab yang memuat penyempurnaan ataupun ringkasan rijal
yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
- Tahzib al-Kamal, susunan Abu al-Hajjaj Yusuf bin Zakki al-Mizzi, (W. 742 H).
- Akmal Tahzib al-Kamal, karya ‘Ala’ al-Din Muglataya (W. 762 H),
- Tazhib al-Tazhib, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi (W. 746 H/1348 M).
- Al-Kasyif fi Ma’rifati man lahu Ruwatun fi al-Kutub al-Sittah karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
- Tahzib al-Tahzib karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (W. 852 H/1449M).
- Taqrib al-Tahzib susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
- Khulasah Tazhib Tahzib al-Kamal karya Safi al-Din Ahmad ‘Abdillah alKhazraji (W. 924 H).
Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis,
yaitu, kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas
siqah oleh penyusunnya.
- Al-Siqat karya Abu al-Hasan Ahmad bi ‘ Abdillah al-‘Ijli (W. 261 H).
- Al-Siqat karya Abi Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (W. 354 H/).
- Tarikh Asma’ al-Siqat min man Naqala ‘anhum al-‘ilma karya Umar bin Ahmad bin Syahin (W. 383 H).
Sedangkan kitab-kitab yang khusus membahas periwayat yang
dinilai lemah (dha’if) oleh penyusunnya.
- Al-Dhu’afa’ al-Kabir dan al-Dhu’afa’ al-Saghir susunan al-Bukhari.
- Al-Dhu’afa’ wa al-Matrukun karya al-Nasa’i
- al-Dhu’afa’ karya Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (W. 323H).
- Ma’rifatu al-Majruhina min al-Muhaddisin susunan Abu Hatim al-Busti.
- Al-Kamil fi Dhu’afa’ al-Rijal karya Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adi al-jurjani
- Mizaz al-I’tidal fi Naqdi al-Rijal, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi
- Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis
berdasarkan negara asal mereka, misalnya, Tarikh Wasit
bersambung......
wassalam
0 komentar:
Posting Komentar